Apa yg terjadi jika seorang perempuan menggunakan rok. Apalagi rok yg dipakai ketat, memperlihatkan lekukan bokongnya yg kemudian memberikan imajinasi apakah perempuan ini gag pake celana dalam, atau apakah dia pakai g-string, ada apa di balik rok yg dia kenakan ya...
Laki-laki melihat perempuan secara fisik, hal yg sangat biasa. Perempuan pun kemudian berlomba-lomba "mempercantik" tampilan fisik mereka. Pergi ke salon untuk mewarnai rambut mereka, menggunakan make-up yg membuat wajah mereka terlihat merona, detox, ataupun sesuatu yg berhubungan dengan memutihkan kulit. Kenapa? Perempuan harus terlihat cantik secara fisik, karena mereka "harus" seperti itu.
3B (Brain, Beauty, Behavior), sesuatu yg kemudian menjadi wacana bagi perempuan-perempuan yg maju, yg mengadopsi keinginan dari makna munculnya feminisme di dunia, persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Selain cantik, perempuan harus juga cerdas dan juga tata krama. Tata krama? Tata krama seperti apa?
Belum lagi pada suatu saat, di suatu tempat, seseorang dateng ke ruang HRD meminta untuk mencarikan satu orang administrator untuk divisinya. Syaratnya, dia harus perempuan, rambut panjang, kulit putih, berwajah menarik. Saat ditanya keringanan syarat nya apa saja... Sang bos berkata, gag perlu harus pintar, tapi dia wajib punya muka yg cantik.... "Eummmm okay!!!"
Kenapa harus seperti itu? Kenapa perempuan selalu diidentikan dengan penampakan seksual mereka.? Penampakan seksual? Michelle Foucault mengatakan bahwa perempuan memang dibentuk menjadi empat daerah seksual, dan itu terjadi untuk membentuk pengetahuan akan seksualitas perempuan dibentuk untuk membuat perempuan. Foucault dalam Alimi (2004; 45-49) mengatakan bahwa pengetahuan akan seksualitas manusia modern itu dibentuk menjadi lima strategi untuk membuat wacana tentang seksualitas. Pertama, sebuah gagasan yang mengharuskan setiap individu harus memiliki satu buah seks saja. Foucault menjelaskan dalam ilmu kedokteran, hukum, dan pengadilan mengharuskan bahwa setiap individu harus memiliki satu buah jenis kelamin yang jelas.
Kedua, sosialisasi reproduksi, yang mana seksualitas lebih dilihat dari fungsi reproduksinya saja. Seksualitas kemudian tidak lagi dilihat dari kesenangan (pleasure). Alimi (2004; 47) mengatakan hal ini bertujuan untuk memaksimalkan kekuatan, efesiensi, ekonomi tubuh, hubungan konjungal perkawinan, dan heteroseksualitas. Dimana tujuan ini juga berdampak pada pasangan yang kemudian memasrahkan seksualitas mereka dalam tanggung jawab sosial dan juga medis. Pada intinya pelegalan seksualitas dalam urusan negara, yaitu melalui lembaga perkawinan. Sehingga seksualitas untuk kesenangan dikutuk. Semua jenis seksualitas yang merupakan sumber dari keerotisan kemudian dianggap terlarang, menyimpang, dan membutuhkan penanganan. Alasannya karena dianggap akan memperlemah tubuh dan menjadikan tubuh rawan akan berbagai penyakit.
Ketiga, pendagogisasi seksualitas anak-anak. Dalam hal ini anak-anak diusahakan untuk dijauhkan dari apapun yang berhubungan dengan seksualitas. Onani dan mastrubasi yang dilakukan saat mereka anak-anak dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya. Sehingga lembaga pendidikan disini ikut mengaturnya.
Keempat, histerisasi tubuh perempuan. Seksualitas perempuan disini kemudian dilihat sebagai inti dari identitas mereka sebagai perempuan. Sehingga seksualitas tidak lagi diartikan sebagai hubungan badan saja, tetapi berlanjut kepada pengalaman mastrubasi, kehamilan, kelahiran, dan menopause. Membuat perempuan secara legal sebagai objek dari penelitian psikologis dan medis, yang mengakibatkan perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan dalam praktek diskursifnya.
Selain itu, pengakuan juga merupakan salah satu dari praktek diskursus lainnya.
Melalui pengakuan (confession), maka ideologi akan seksualitas terbentuk. Pengakuan yang pada awalnya hanya milik gereja saja, kemudian berkembang pada bidang kedokteran, psikologis, bahkan dalam diri individu itu sendiri.
Pengetahuan seksualitas perempuan yang menempatkan tubuh perempuan adalah bagian dari seksualitasnya inilah yang kemudian menempatkan perempuan pada posisi sebagai "sang seksualitas". Apapun yg ditampilkan perempuan kemudian diasosiasikan sebagai bagian seksualitasnya. Perempuan harus terlihat cantik, karena apa? Untuk memuaskan sang "penguasa", di dalam dunia patriarki seperti ini, sang penguasa kemudian diasosiasikan sebagai laki-laki. Jadi terms "kecantikan" dan "keindahan" perempuan adalah sebagai pemuas nafsu seksualitas laki-laki, dengan melibatkan indra penglihatan mereka.
Gw jadi berpikir, perempuan diasosiasikan sebagai "sexual being" atau "makhluk seksual", sehingga apapun yg melibatkan fisik perempuan dianggap sebagai "sexual activity", karena mempermak bentuk tubuh, membubuhkan make up di wajah, menggunakan pakaian dengan berbagai macam model, terkadang bukan untuk kenyamanan sang pengguna, terkadang malah seperti memberikan pemahaman bahwa semua itu mereka lakukan untuk mendapatkan perhatian dari laki-laki, perhatian secara seksual, lebih tepatnya.
Karena itu, apapun yang perempuan lakukan terhadap tubuh mereka, adalah bagian dari status makhluk seksual tersebut. Jadi, setiap mereka (perempuan) yang menggunakan rok, pasti akan mendapatkan perhatian lebih dibandingkan mereka yg menggunakan celana panjang. Karena seksual status yg perempuan sandang, mengingat bahwa perempuan selalu disamakan dengan makhluk seksual inilah, kemudian susah membuat perempuan menjadi makhluk yg sama.
Pengasosiasian bahwa kegiatan alami yg dialami perempuan seperti melahirkan, menstruasi, dan hamil pun dianggap sebagai kegiatan seksual mereka. Maka, perempuan sangat mudah untuk diasosiasikan sebagai makhluk seksual.
Penggunaan rok bagi perempuan, sebenarnya bukanlah untuk memperlihatkan bentuk seksual mereka, melainkan dikarenakan genital akan lebih gampang untuk diihat jika menggunakan rok, dan bagi pihak2 yg berkuasa (laki-laki) yg dilihat kemudian adalah penggambaran perempuan sebagai makhluk seksual, yg kemudian mereka asosiasikan karena melihat perempuan menggunakan rok, adalah bentuk seksualitas mereka.
Laki-laki melihat perempuan secara fisik, hal yg sangat biasa. Perempuan pun kemudian berlomba-lomba "mempercantik" tampilan fisik mereka. Pergi ke salon untuk mewarnai rambut mereka, menggunakan make-up yg membuat wajah mereka terlihat merona, detox, ataupun sesuatu yg berhubungan dengan memutihkan kulit. Kenapa? Perempuan harus terlihat cantik secara fisik, karena mereka "harus" seperti itu.
3B (Brain, Beauty, Behavior), sesuatu yg kemudian menjadi wacana bagi perempuan-perempuan yg maju, yg mengadopsi keinginan dari makna munculnya feminisme di dunia, persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Selain cantik, perempuan harus juga cerdas dan juga tata krama. Tata krama? Tata krama seperti apa?
Belum lagi pada suatu saat, di suatu tempat, seseorang dateng ke ruang HRD meminta untuk mencarikan satu orang administrator untuk divisinya. Syaratnya, dia harus perempuan, rambut panjang, kulit putih, berwajah menarik. Saat ditanya keringanan syarat nya apa saja... Sang bos berkata, gag perlu harus pintar, tapi dia wajib punya muka yg cantik.... "Eummmm okay!!!"
Kenapa harus seperti itu? Kenapa perempuan selalu diidentikan dengan penampakan seksual mereka.? Penampakan seksual? Michelle Foucault mengatakan bahwa perempuan memang dibentuk menjadi empat daerah seksual, dan itu terjadi untuk membentuk pengetahuan akan seksualitas perempuan dibentuk untuk membuat perempuan. Foucault dalam Alimi (2004; 45-49) mengatakan bahwa pengetahuan akan seksualitas manusia modern itu dibentuk menjadi lima strategi untuk membuat wacana tentang seksualitas. Pertama, sebuah gagasan yang mengharuskan setiap individu harus memiliki satu buah seks saja. Foucault menjelaskan dalam ilmu kedokteran, hukum, dan pengadilan mengharuskan bahwa setiap individu harus memiliki satu buah jenis kelamin yang jelas.
Kedua, sosialisasi reproduksi, yang mana seksualitas lebih dilihat dari fungsi reproduksinya saja. Seksualitas kemudian tidak lagi dilihat dari kesenangan (pleasure). Alimi (2004; 47) mengatakan hal ini bertujuan untuk memaksimalkan kekuatan, efesiensi, ekonomi tubuh, hubungan konjungal perkawinan, dan heteroseksualitas. Dimana tujuan ini juga berdampak pada pasangan yang kemudian memasrahkan seksualitas mereka dalam tanggung jawab sosial dan juga medis. Pada intinya pelegalan seksualitas dalam urusan negara, yaitu melalui lembaga perkawinan. Sehingga seksualitas untuk kesenangan dikutuk. Semua jenis seksualitas yang merupakan sumber dari keerotisan kemudian dianggap terlarang, menyimpang, dan membutuhkan penanganan. Alasannya karena dianggap akan memperlemah tubuh dan menjadikan tubuh rawan akan berbagai penyakit.
Ketiga, pendagogisasi seksualitas anak-anak. Dalam hal ini anak-anak diusahakan untuk dijauhkan dari apapun yang berhubungan dengan seksualitas. Onani dan mastrubasi yang dilakukan saat mereka anak-anak dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya. Sehingga lembaga pendidikan disini ikut mengaturnya.
Keempat, histerisasi tubuh perempuan. Seksualitas perempuan disini kemudian dilihat sebagai inti dari identitas mereka sebagai perempuan. Sehingga seksualitas tidak lagi diartikan sebagai hubungan badan saja, tetapi berlanjut kepada pengalaman mastrubasi, kehamilan, kelahiran, dan menopause. Membuat perempuan secara legal sebagai objek dari penelitian psikologis dan medis, yang mengakibatkan perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan dalam praktek diskursifnya.
Selain itu, pengakuan juga merupakan salah satu dari praktek diskursus lainnya.
Melalui pengakuan (confession), maka ideologi akan seksualitas terbentuk. Pengakuan yang pada awalnya hanya milik gereja saja, kemudian berkembang pada bidang kedokteran, psikologis, bahkan dalam diri individu itu sendiri.
Pengetahuan seksualitas perempuan yang menempatkan tubuh perempuan adalah bagian dari seksualitasnya inilah yang kemudian menempatkan perempuan pada posisi sebagai "sang seksualitas". Apapun yg ditampilkan perempuan kemudian diasosiasikan sebagai bagian seksualitasnya. Perempuan harus terlihat cantik, karena apa? Untuk memuaskan sang "penguasa", di dalam dunia patriarki seperti ini, sang penguasa kemudian diasosiasikan sebagai laki-laki. Jadi terms "kecantikan" dan "keindahan" perempuan adalah sebagai pemuas nafsu seksualitas laki-laki, dengan melibatkan indra penglihatan mereka.
Gw jadi berpikir, perempuan diasosiasikan sebagai "sexual being" atau "makhluk seksual", sehingga apapun yg melibatkan fisik perempuan dianggap sebagai "sexual activity", karena mempermak bentuk tubuh, membubuhkan make up di wajah, menggunakan pakaian dengan berbagai macam model, terkadang bukan untuk kenyamanan sang pengguna, terkadang malah seperti memberikan pemahaman bahwa semua itu mereka lakukan untuk mendapatkan perhatian dari laki-laki, perhatian secara seksual, lebih tepatnya.
Karena itu, apapun yang perempuan lakukan terhadap tubuh mereka, adalah bagian dari status makhluk seksual tersebut. Jadi, setiap mereka (perempuan) yang menggunakan rok, pasti akan mendapatkan perhatian lebih dibandingkan mereka yg menggunakan celana panjang. Karena seksual status yg perempuan sandang, mengingat bahwa perempuan selalu disamakan dengan makhluk seksual inilah, kemudian susah membuat perempuan menjadi makhluk yg sama.
Pengasosiasian bahwa kegiatan alami yg dialami perempuan seperti melahirkan, menstruasi, dan hamil pun dianggap sebagai kegiatan seksual mereka. Maka, perempuan sangat mudah untuk diasosiasikan sebagai makhluk seksual.
Penggunaan rok bagi perempuan, sebenarnya bukanlah untuk memperlihatkan bentuk seksual mereka, melainkan dikarenakan genital akan lebih gampang untuk diihat jika menggunakan rok, dan bagi pihak2 yg berkuasa (laki-laki) yg dilihat kemudian adalah penggambaran perempuan sebagai makhluk seksual, yg kemudian mereka asosiasikan karena melihat perempuan menggunakan rok, adalah bentuk seksualitas mereka.