Yep, judulnya bener sekali. Di akhir bulan Januari kemarin gw positif covid-19. Jadi gw mau cerita apa aja yang gw lakukan waktu gw kena ini penyakit. Yah sekalian juga itung-itung isi blog sebulan sekali. Walaupun kelewat di Februari, semoga aja di Maret ini bisa lunasin utang nge blog di Februari plus nambah satu post di bulan ini, hehe.
Pekerjaan Dengan Resiko Tinggi
Gw sekarang sudah punya pekerjaan tetap, dan bersyukur sekali, karena pekerjaan ini, pelan-pelan hidup Mas Bojo dan gw sedikit membaik. Oh iya, gw bekerja sebagai childcare educator, kalau kata orang sini. Ya semacam guru untuk mereka yang pre-school, dari usia 6 minggu sampai 4 tahun (yang penting udah vaksin aja). Ini vaksin yang dimaksud vaksin wajib pertama kali anak lahir.
Pandemi yang melanda kita semua, itu sama sekali nggak ngaruh sama jam kerja gw. Malahan nggak ada kata slow down. Ini karena childcare centre di tempat gw nggak tutup seperti sekolah-sekolah lainnya. Jadi di saat semua sekolah belajar secara daring dan semua orang tua work from home, childcare centre tetap buka.
Ini yang jadi salah satu alasan kenapa kerjaan gw jadi salah satu kerjaan dengan resiko tinggi (barengan sama tenaga medis dan juga front linerlainnya). Selama buka tutup alias lockdown, memang gw dan rekan-rekan kerja lainnya (puji Tuhan) nggak ada pengurangan jam kerja ataupun hari kerja. Semua berjalan normal.
Ada juga sih masa-masa dimana satu tempat harus tutup, dan harus deep cleaning karena ada satu kasus, dan kita semua diwajibkan untuk tes dan isoman. Waktu itu pas lagi kenceng-kencengnya varian Delta apa ya. Bersyukur karena hasil tes gw negatif.
Varian Baru dan Kepasrahan Kita Semua
Karena udah hampir tiga tahun hidup kita diombang-ambing sama pandemi ini, gw dan beberapa temen gw di awal 2022 ini di titik pasrah. Maksudnya bukan artinya terus kita nggak ikutin protokol kesehatan sama sekali. Kita tetep ikut dan melaksanakan protokol kesehatan, tapi kemudian kita juga di titik "ya kalau ternyata kita positif, yaudah deh, memang sudah waktunya kali ya."
Seriusan! Ini temen-temen gw juga udah ngomong begitu. Dengan udah nggak ada lagi yang namanya lockdown, terus muncul varian baru yang katanya lebih mudah menular, plus beberapa anjuran protokol kesehatan sudah mulai dilonggarkan (seperti mereka yang memutuskan untuk nggak vaksin boleh masuk pusat perbelanjaan). Selain itu, kita juga nggak tahu anak-anak yang masuk di tempat kita habis dari mana aja.
Kenapa Bisa Kena?
Bukan berarti karena pasrah terus gw jadi sesukanya, tapi karena memang sudah waktunya aja. Kenapa gw bisa ngomong gitu? Karena protokol kesehatan gw secara pribadi udah lumayan kenceng kok. Gw masih nggak nyaman aja keluar rumah kalau nggak pake masker (di sini masker udah nggak wajib lagi, selama bisa jaga jarak 1.5 meter).
Jadi ada dua kemungkinan gw tertular ini virus. Yang pertama dari tempat kerja gw.
Ceritanya sih karena gw ditempatkan di ruangan dimana ada salah satu anak didik yang positif. Tapi, gw dapetnya bukan dari dia. Jadi setelah si anak didik ini positif, seluruh staff dan anak-anak beserta orang tua yang hadir di hari terakhir si anak ini masuk diharuskan untuk tes, rapid tes lebih tepatnya. Karena si anak hari terakhir masuknya hari Rabu, gw Kamis libur, dan masa inkubasi ini virus sebelum jadi penyakit adalah tiga hari, di hari Jumat kita semua disuruh untuk tes.
Gw rapid di tempat kerja. Begitu pula dengan staff yang satu jadwal dengan gw di hari Jumat itu. Kita semua hasilnya negatif, jadi langsung bisa kerja. Tapi, kalau anak-anak yang ada di ruangan itu, mereka nggak dibolehin masuk sampai tiga hari kedepan.
Karena sedikit anak yang masuk di ruangan gw (rasio staff per anak itu 1:4) jadi kalau ada staff yang nggak kebagian rasio (baca: gw) harus ngerjain kerjaan yang lain. Nah karena gw nggak kebagian rasio, ditempatkanlah gw di pintu masuk, untuk bawa anak dari pintu masuk ke ruangan mereka masing-masing.
Oiya, karena pandemi, orang tua yang biasanya bisa ngantar anaknya sampai ke dalam ruangan kelas, jadi cuma bisa ngantar sampai depan pintu masuk gedung. Nanti ada yang jagain di depan pintu, terus anaknya diantar sama staff ini ke ruangan mereka masing-masing.
Ini jadi job desc gw di pagi itu. Jadi, sampai ada satu orang tua anak dari ruangan gw yang nggak dapat pesan dari management. Datanglah dia bawa si anak, dan salah satu staff management langsung bilang (dan dengan gw di situ) kalau mereka mencoba untuk menghubungi si bapak ini untuk kasih tau kalau si anak harus di tes. Akhirnya dengan berat hati si bapak bawa kembali si anak pulang untuk tes.
Gw ngerti sih kegalauan para orang tua ini ketika si anak nggak bisa sekolah. Artinya mereka juga nggak bisa bekerja karena harus di rumah jagain anaknya.
Sejam berlalu, akhirnya bapak si anak ini kasih informasi kalau si anak positif. JENG... JENG!!!!!
Kaget gw! Karena gw hadep-hadepan sama si anak dan bapaknya di pintu masuk pagi ini. Tapi tetep berusaha berpikir kalau gw akan baik-baik aja.
Staff yang juga hadep-hadepan sama si bapak yang barengan ama gw, dia udah positif beberapa minggu sebelumnya. Jadi aturan di sini, kalau sudah pernah kena, dan sudah karantina selama tujuh hari, sudah bisa aktif seperti sedia kala.
Kemungkinan yang kedua adalah gw dapet dari orang-orang yang gw temuin di hari Sabtunya. Karena gw dan Mas Bojo memang berencana pindah rumah, dan kita setiap hari Sabtu dan Minggu (dimulai dari awal Januari) selalu hunting rumah.
Setelah kehebohan di Jumat pagi, besok Sabtunya gw seperti biasa hunting rumah dengan Mas Bojo. Karena pagi, dan jarak antara inspeksi satu rumah ke rumah lainnya lumayan panjang (dua jam), jadi kita memutuskan untuk sarapan pagi di salah satu cafe.
Entah dari cafe nya, atau dari orang-orang yang datang inspeksi rumah, nggak ada yang tahu kapan gw kenanya. Karena di hari Sabtu itu gw dan Mas Bojo inspeksi lebih dari empat rumah, dan semuanya penuh dengan orang-orang yang datang dan lihat rumah-rumah itu. Nanti gw ceritain deh cara orang Australia cari rumah di blog post yang berbeda.
Muncul Gejala
Semua berjalan biasa dan normal-normal saja sampai Minggu malam. Tetiba aja gw ngerasa menggigil, dan gejalanya tiba-tiba aja muncul. Biasanya kan kalau demam, kita udah merasakan ada gejala seperti badan capek, terus suhu badan pelan-pelan naik, mata berat. Nah ini ga ada, tau-tau aja menggigil.
Gw yang tadinya sibuk di dapur bikin makan malem, tiba-tiba langsung lemes.
Gw pikir yaudahlah mungkin kecapekan gara-gara hunting rumah. Jadi cuma gw minumin obat penghilang demam favorit kita semua (baca:p*****l). Habis makan malam, gw memutuskan untuk tidur aja, dengan pikiran mungkin besoknya sudah sembuh.
Besok paginya, bukannya sembuh, tapi tetep ada ini demam. Jadi, gw memutuskan untuk rapid. Ya iya, hasilnya gw positif Covid-19 deh. Setelah hasil keluar, gw kasih tau Mas Bojo, dan tempat kerja, langsung isolasi mandiri. Kalau di Australia, isoman nya tujuh hari.
Selain demam, gw juga ngerasa pegel-pegel di sendi sendi gw. Batuk cuma kadang aja, terus pilek nggak parah. Ya nggak tau juga sih pileknya ini karena covid atau bukan, karena gw sebenernya sepanjang tahun suka bersin-bersin dan hidung gatal karena hay fever.
Isoman Tujuh Hari
Hari pertama kena covid pastinya chaos. Karena gw harus isoman, artinya Mas Bojo harus tidur di tempat lain. Karena kita nggak ada kamar lainnya, Mas Bojo terpaksa deh tidur di sofa. Tapi katanya sih dia enak-enak aja tidur di sofa.
Terus gw kasih tau tempat kerja dong ya, kalau gw positif covid. Sama mereka gw dikasih tau link untuk lapor kalau positif (karena gw tes rapid, kalau tes nya melalui tes yang biasanya sepertinya nggak perlu lapor).
Karena demam, jadi gw kasih minum obat penurun demam doang. Naik turun emang. Berkali kali minum obat.
Tapi karena gw nggak hilang rasa, malah nafsu makan bertambah, jadi makan jalan aja terus. '
Setelah tau gw positif covid, satu yang gw persiapin adalah, air minum. Selain air putih, gw juga minta disediain air kelapa. Plus ada temen baik bener kirim jamu kunir asam. Entah itu berkhasiat apa enggak, yang penting buat gw saat itu adalah banyakin minum air putih.
Selain itu, makan jalan terus, nggak mikir lagi pilah pilih makanan, yang penting makan.
Selain demam, juga ada sedikit batuk, dan juga sendi-sendi yang pegel nggak karuan.
Hari kedua, pegel ilang, batuk juga ilang, sisa demam aja. Tapi demamnya juga nggak separah hari pertama yang setiap diminumin obat, demamnya ilang, tapi pas reaksi obatnya abis, demamnya ada lagi. Di hari kedua ini, seingat gw demam cuma dua kali, di pagi hari sama di sore hari. Sore harinya malah nggak gw minumin obat, cuma gw makan aja, karena lapar berat, abis itu reda demamnya.
Hari ketiga semua gejala sudah hilang. Mulai dari pegal sampai demam sudah hilang semua. Selain itu, nafsu makan balik normal. Kemarin di dua hari pertama nafsu makan gw tinggi banget, bisa sekali lima kali makan. Di hari ketiga udah normal lah ya.
Tapi karena di Australia isoman tujuh hari, jadi gw tetap isoman sampai hari ke tujuh.
Apa yang gw lakukan di hari ketiga sampai ke tujuh? Nggak ada! Isinya cuma guling-guling aja di kamar, sama nonton anime sama netflix.
Selesai Isoman
Di Australia, setelah isoman hari ketujuh nggak perlu lagi tes. Jadi di hari ketujuh, gw sudah boleh keluar kamar, dan udah boleh beraktifitas seperti biasa. Itu juga sebenernya dengan syarat udah nggak ada gejala sama sekali.
Hari ketujuh yang gw lakukan ya disinfektan kamar. Karena waktu itu weekend jadi masih bisa deh bebersih kamar. Semua yang ada di kamar dibersihkan dan di semprot disinfektan. Seprai dan sarung bantal gw cuci. Nyucinya juga dikasih detol sih, biar hati bener-bener plong.
Dimonitor Pemerintah
Jadi, setelah gw laporan kalau gw positif, setiap hari selalu ada sms dari pemerintah untuk menanyakan kondisi gw. Di hari pertama ada dua kali sms, dan selanjutnya cuma sekali sms.
Isinya link kuesioner yang menanyakan perkembangan kondisi dan gejala gw. Seperti gejala apa aja yang gw rasakan setiap hari, apakah kondisi gw memungkinkan untuk isoman, apakah gw nggak mengalami kesusahan waktu isoman (seperti pakai kamar mandi, atau menyiapkan kebutuhan sehari hari).
Kuesioner nya juga menanyakan tentang apa gw punya penyakit bawaan, apa ada alat bantu kesehatan yang gw butuhkan saat isoman, sampai apa gw mengalami kesulitan bernapas.
Selama tujuh hari berturut-turut dikasi kuesioner seperti itu sekitar jam 10 pagi-an.
Karena gw gejalanya ringan dan juga kondisi gw isoman baik-baik aja, jadi nggak ada yang luar biasa juga sih. Mungkin kalau gw kesusahan akan ada orang dari pemerintah yang datang membantu.
Di hari ketujuh pun kalau jawaban gw secara garis besar nggak ada lagi gejala, mereka ngasih tau kalau gw bisa selesai isoman dan aktifitas seperti biasa.
Monitornya nggak berhenti sih. Mereka SMS lagi di hari ketiga sampai minggu kedua. Intinya sih kalau misalnya gw ada gejala lagi atau enggak. Kalau enggak ya udah hidup seperti biasa lagi.
Dikasih tau juga sih dalam tigapuluh hari setelah selesai dari isoman, gw sebenernya masih punya virusnya didalam tubuh, tapi udah nggak menular lagi, dan tigapuluh hari itu sebenernya waktu si virus rontok dalam tubuh kita. Jadi, kalau di tes lagi, ya hasilnya tetep positif.
Itulah pengalaman gw kena covid-19. Yang namanya penyakit mana ada yang enak. Jadi gw berharap nggak mau lagi deh kena. Padahal kalau dipikir-pikir gw itu selalu menjaga kebersihan diri. Eh, memang sudah waktunya kali ya kena.