Saya Juga Bisa Baper

By Miss Across the Sea - Friday, July 13, 2018


CLICK HERE FOR ENGLISH VERSION

Sebenernya gw antara "nggak perlu" sama "harus" sih buat post begini. 

Awalnya dari banyaknya pertanyaan dan pernyataan tentang hidup gw di Melbourne. Baiklah, kalian semua tau dong ya, kalau gw tinggal di Melbourne. 

Emang sih, sampai sekarang baru berjalan setahun lebih. Dan dalam setahun ini gw lagi menata-nata hidup baru gw ini. 

Ibaratnya kalau lagi bangun rumah, kan harus pondasi dulu tuh. Nah itu tuh. Gw lagi nguatin pondasi. Apa aja? Sebut aja, ijin tinggal, ijin dapet kerja, ijin travelling, ijin nyetir sendiri, dan lain sebagainya.

Nah, kadang gw suka baper gitu kalau ada yang julid-in, atau anggap remeh kehidupan baru gw ini. Seperti sekarang, baper terus bikin post deh. 

Sebenernya kalau satu dua orang aja yang julid gw sih bawa santai. Tapi kalau sudah banyak yang underestimate hidup gw di sini, gw akhirnya pikir apa lebih baik gw bikin blog post aja ya, buat menjelaskan gimana gw lagi menguatkan pondasi dan membangun hidup baru gw di sini. 

Walaupun sebenernya kadang gw pikir nggak perlu, toh pembaca blog ini juga paham sejauh mana perjalanan gw di sini. 

Eniwei,
Mungkin post ini adalah sisi baper gw aja dari beberapa julid-an yang ditujukan ke gw, tapi disampaikan ke nyokap, dan nyokap nyampaikan ke gw. 


Partner yang Pelit

Ke baper-an gw yang pertama. Baper karena partner gw dibilang pelit. Kenapa? Karena gw kesannya nggak pernah minta ini itu ke Mas Bojo. Yakalik, gw kan bukan pengemis, minta-minta... deuh -__-"

Alasannya, gw nggak pernah kasih mereka oleh-oleh. Hahahaha. Ya memang, gw nggak pernah kasih oleh-oleh ke siapapun lagi, terutama setelah gw dapet komentar "ah begini doang bisa dibeli di tanah abang."

Tapi gw dan Mas Bojo cukup royal sama orang tua dan adek-adek gw. Tapi memang gw nggak selalu setiap bulan ngirimin barang ke Indonesia. Bok ongkos kirim 1/2 kg aja Rp250.000an. 

Selain itu, gw belum menghasilkan pendapatan. Dan "memaksa" Mas Bojo untuk selalu ngirimin sesuatu yang terkadang cuma berakhir di tempat sampah, atau malah dikasih ke orang lain rasanya sayang banget kan. 

Jadi, bukan karena Mas Bojo yang pelit. Tapi lebih gw yang lebih meng-efisien-kan pendapatan yang kita punya. Plus, Mas Bojo itu bukan mesin ATM gw yang selalu kasih setiap gw minta. Dia partner gw, yang selalu bakalan ada di setiap sisi kehidupan gw di sini. Ya iya kalik gw mau jadi heartless sama dia. Kalau mau cari yang beginian ngapain gw jauh-jauh pindah ke Melbourne. 

Karena, gw dan Mas Bojo pun punya impian. Baik impian kita masing-masing dan impian kita berdua. Jadi yang kita lakukan memang mempersiapkan masa depan kita.

Selain itu, kenapa gitu ngatain pasangan gw pelit karena nggak pernah kasih mereka sesuatu. Mereka ini adalah orang-orang yang nggak punya hubungan langsung sama hidup gw, kan lucu ya. 

Nggak Kerja, Percuma Jadi Sarjana

Yang ini bikin gw jadi baper berat. Pengen banget teriak di depan muka nya mereka "Emangnya lu pikir cari kerja di sini gampang?!".

Beb, nggak gampang buat orang seperti gw cari kerja di sini. Karena gw masuknya juga pun bukan dengan visa kerja. Visa turis tentu aja nggak bisa dipakai buat cari kerja di sini. Dan walaupun dengan bridging visa (yang gw pegang sekarang) gw sudah bisa kerja tanpa limit di sini, tapi...

Cari kerja di Australia buat pendatang yang datang dengan bukan visa kerja, itu bikin stress (buat gw sih). Ijazah gw nggak ada gunanya (kecuali kalau gw mau ijazahnya di sertifikasi dulu di Department pendidikan di sini). Selain itu, harus punya pengalaman kerja di sini juga. Anda pikir gampang? Heeyyy Andaaaa... enggak. 

Sebagai informasi, di sini untuk jadi guru Bahasa Indonesia aja, gw paling enggak harus punya sertifikat guru loh. Nggak beda-beda banget kan ya sama di Indonesia. Bedanya, apapun profesi yang lagi ada lowongannya, itu harus berbanding lurus sama pendidikan yang kita tempuh.

Misalnya, sarjana komunikasi, dan pengen jadi guru Bahasa Indonesia di sini? Mana bisa. Harus ambil kuliah keguruan lagi gw, buat dapet sertifikat mengajar. Itupun kuliahnya dengan jurusan yang bener, nggak bisa sembarangan ambil jurusan guru. Kalau guru SD ya ambil yang guru SD.

Jadi babysitter? Nggak bisa sembarangan juga. Untuk kerja dengan anak-anak, semua orang di Australia harus wajib punya Working With Children Card. Kartu ini gunanya untuk jagain anak-anak di sini dari seksual predator. Kartu ini berlaku selama 5 tahun, dan bisa diperbarui.

Kartu WWC ini nggak cuma berlaku untuk baby sitter aja. Intinya berlaku untuk mereka yang bekerja di lingkungan anak-anak (dibawah 18 tahun). Guru SD - kuliah, babysitter, kerja di Playground,  pokoknya yang hubungannya sama anak-anak deh.

Sarjana tapi bukan dari Australia? Ya harus di assess sama mereka. Masing-masing Negara bagian punya aturan sendiri, di Victoria sendiri minimal harus tinggal selama dua tahun untuk bisa apply. Buat apa? Ya buat cari kerja dengan ijasah yang sudah kita dapet laaahhh. Kalau memang nggak mau kursus atau kuliah lagi buat dapet ijasah dari Australia.

Ngurusnya ribet. Ya selain karena harus nunggu dua tahun, juga semua sertifikat kuliah kita plus identitas kita (termasuk passport dan visa) harus di certified dulu sama JP. Habis itu baru deh di daftarin ke OQU.

Setelah punya itu semua, belum tentu langsung dapet kerja. Pokoknya bener-bener harus selaras antara pendidikan sama kerjaan yang mau dilamar. Plus, harus bersaing dengan beberapa pelamar lainnya juga tentunya.

Punya saran? Enggak. Hehehe... Karena gw belum dua tahun tinggal di Melbourne, jadi nggak qualified buat daftar OQU.

Sebenernya males baper, karena lagi-lagi yang ngomong gini bukan dari keluarga inti. Tapi kalau tiapari nyokap dijulid-in begini kan lama-lama kesel juga. Mau jelasin baik-baik malah nggak didengerin, intinya sih nggak mau aja kalau gw keliatan bener.

Lha kalau ngerti mereka seperti itu, ngapain bikin post?*
Iya juga ya...hmmmm.*
*dialog imajiner

"Lu Kan Suka Masak, Buka Warung Aja"

Honestly, banyak banget deh yang komen seperti ini, nggak cuma dari mereka yang katanya keluarga itu. I get it, beberapa orang mungkin berpikir "kan jarang ada restoran Indonesia di sana."

Half true half false sih. Kalau dibilang jarang ada. Secara keseluruhan Australia, restoran Indonesia itu buanyaaaaaaaaaaak. Gw dapet nih daftar restoran Indonesia di Victoria. Dan di Victoria sendiri aja, ada sekitar 38 restoran, yang tersebar dimana mana. 

Tapi, kalau dibandingkan sama restoran India, hehehe... ya jauhlaaahhhh. 

Photo by Aphiwat  chuangchoem from Pexels
Buka usaha di sini pun nggak segampang di Indonesia. Yang bersihin garasi, terus ditata sedemikian rupa biar menyerupai rumah makan, habis itu tempat masak memasak ditaruh di depan. Pasang papan, iklan sana sini situ, dateng deh pembeli. 

NOPE!!

Sebelum itu semua. Kita harus tau, di Australia, mereka punya yang  namanya food safety standard. Buat apa? Ya buat jagain konsumen dan produsen restoran, yang intinya makanan yang diproduksi dan konsumsi terjamin kebersihan dan kesehatannya. 

Awalnya, kita semacam bikin proposal yang ditujukan ke Melbourne Health Service. Proposalnya isinya ya bentuk restoran yang mau kita buat nanti seperti apa, lengkap. Segala jenis meja dan kursi, dan peralatan masak, lantai, dinding, hiasan yang dipakai, bumbu-bumbu yang dipakai buat bikin masakannya, beli dimana, dsb dsb.

Ribet? Hahaha... belum selesai, itu baru langkah pertama. Berikutnya kalau proposal kita diterima, mereka bakal inspeksi deh restoran kita. Restoran di garasi boleh? Boleeeh, asal memenuhi persyaratan restoran sehat ala mereka. Dan dapur, dapur nggak bisa gabung sama dapur pribadi. 

Kalau udah inspeksi dan lolos selesai dong? Hah! Belum! Karena harus punya supervisor, harus ikut food safety program, baru bisa deh diregistrasi. HAHAHAHAHA. Jadi itu semua baru tahapan buat bisa registrasi!!!! Nah kalau registrasinya keterima, dan udah dikasih nomor registrasi, baru deh bisa buka restorannya. 

Mau restoran, mau catering, mau warung kecil, sama semua. Lu pikir gampang?! HAH?! #ngegas.



Jadi ya, begitulah, akhir-akhir ini gw memang baper karena terkadang sesuatu yang seharusnya nggak di nyinyir-in malah jadi bahan buat menjatuhkan gw. 
Kesannya "percuma lu pindah ke Australia, malah nggak jadi apa-apa di sana." Kan baper beb.

Selain itu, baper hebat karena yang ngomong begitu kebanyakan dari keluarga sendiri. Ya ampun, kan baper kan, kan, kan... 

Bukannya disemangatin karena baru aja memulai hidup baru, malah dibuat down gitu. Ya down sih soalnya ngomongnya ke nyokap, terus nyokap jadi sedih, terus nyokap jadi bingung mau jawab apa. Terkadang gw mikir, ngapain gitu jatuhin gw, toh semua jatuh bangunnya hidup gw nggak pernah berhubungan secara langsung sama kehidupan mereka. 

Tapi, ya namanya juga watak kan ya...


Walaupun pada akhirnya sih gw jelasin ke nyokap gimana ribetnya hidup di sini dibandingkan di Indonesia. Yang kadang nyokap bilang, "mereka sih gamau tau ndhuk*, yang mereka tau kamu di sana nggak ngapa-ngapain." Mak jleb nggak sih?
*panggilan anak perempuan Jawa

Eniwei,
Buat temen-temen yang baca terus inget "sepertinya gw pernah ngomong gini deh ke dia." Tapi tenang aja, ke baperan kali ini lebih banyak karena semua omongan di atas ditujukan ke gw, tapi ngomongnya ke nyokap. Soalnya gw itu paling nggak suka kalau orangtua gw baper gegara orang lain ngomongin anak-anaknya ke mereka. Ikutan baper kalau nggak bisa ngapa-ngapain. 


Kalau deket aja sih udah gw ulek sama cabe deh bibir orang-orang itu. Biar pedesnya kerasa juga di mereka. 


  • Share:

You Might Also Like

10 comments

  1. Baca ini sampai habis. Ada dua hal: yang point pertama asli aku ikutan kesel bacanya. Kok bisa ya orang-orang itu berpikir kejauhan? Cuma gara2 ga dikasih oleh2 terus ngejudge ini itu? Hellooooo....situ sehat? Atau situ kurang kerjaan? *jadi ikut emosi

    Yang kedua super iri. Di luar negeri termasuk di Australia peraturan untuk melindungi orang itu ketat banget ya. Kayak kartu Working With Children itu, plus betapa detailnya proses yang harus dilalui untuk sekadar buka resto. Gak main-main dan semua tujuannya balik lagi demi keselamatan orang lain. Tetiba kebayang betapa mudahnya buka warung makan di Indonesia. Liat trotoar nganggur dikit, jadilah itu warung pecel lele, wkwkwkwkw..... Maaf kepanjangan ya mbak komennya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi Mbak Imelda,
      kebayang nggak sih enaknya di Indonesia, laper dikit tinggal nunggu kang bakso lewat depan rumah, atau jalan dikit ke pinggir jalan raya udah nemu banyak penyetan aneka sambel... Di sini kalau nggak masak sendiri, harus naik kereta dulu buat nemu restoran Indonesia.

      Delete
  2. Nyebelin banget emang kalau ada yang nyinyir tapi nggak bantuin bayar tagihan. Kuatin hati mba. Semangat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Mbak Tikaa, aku kuat kok Mbak, tapi terkadang baper juga, hehehehehe..

      Delete
  3. Baper yang menarik buat di ulas di blog dan pembaca jadinya tahu keadaan di australia. Kalau di Indonesia cukup meja satu dan barang dagangan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yaps, bener banget. Kalau di Indonesia yg penting ada tempat jadi duit deh.. hehehe

      Delete
  4. Drama is everywhere. Kita ada ataupun tidak, pasti ada drama. Semangat mbak! Blog-mu salah satu favoritku karena straight to the point dan baper. Sabar ya mba...tanda di-julid-in adalah salah satu indikator kepopuleran kita. Anggep aja gitu. Hug!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi Mbak Ariwita... trims ya dukungannya (halah) hehe. Makasih juga jadi post favorit, jadi ikut ngerasain emosinya ya... eehh aku suka kata-kata "indikator kepopuleran" hasek. Hehehe... *hug

      Delete
  5. Udah ulek aja pake cabeee....sini aku yg bantuinnn...wkwk

    ReplyDelete

Thank you for visiting my blog. Please leave your comment here, but apologize, any spams will go to bin immediately.