STOP Body Shaming (my story of being a victim of body shamming)
By Miss Across the Sea - Sunday, November 05, 2017
"Terlalu kurus kamu! Coba di gemukin dikit."
"Gendutan sekarang kamu!"
"Ih, kok gelapan sekarang kulitmu? Mandi matahari ya?"
"Ih, kok gelapan sekarang kulitmu? Mandi matahari ya?"
Pernah dapet komentar seperti itu nggak? Atau komentar seperti itu? Atau kita sendiri sebenarnya juga pernah mengatakan hal ini kepada orang terdekat kita? Teman? Saudara? Yang baru ketemu kemarin? Atau bahkan setelah bertahun tahun nggak pernah ketemu?
Lalu setelah "kalimat" itu dilontarkan kepada kita, atau oleh kita, kemudian kita mendengarkan jawaban seperti:
"Gitu aja kok marah."
"Bercanda aja kali."
"Cuma bercanda."
Tapi, banyak kah dari kita semua menyadari bahwa sebenarnya itu adalah bentuk halus dari body shaming? Atau bahasa keren dari mencela/ mengejek/ memperolok tubuh seseorang, baik itu bentuk nya, warnanya, atau apapun yang menjadi bagian dari tubuh seseorang tersebut.
Banyak yang dari kita tidak memahami bahwa sebenarnya ini adalah bentuk bullying juga. Bahwa kemudian banyak dari kita yang tidak menyadari dampak yang dihadapi oleh korban. Bahkan body shamming adalah bentuk pelecehan secara verbal.
Biarkan saya bercerita tentang pengalaman body shaming terhadap saya.
Saya terlahir tidak tinggi semampai seperti Raisa, ataupun memiliki bentuk wajah seperti para anggota SNSD. Berbanding terbalik dengan ibu saya yang, walaupun tidak tinggi seperti Raisa, memiliki bentuk tubuh seperti Yoona SNSD. Walaupun kemudian warna kulit saya tidak gelap, namun tidak lebih terang dari ibu saya. Bentuk wajah ibu saya pun runcing di dagu, seperti kebanyakan tokoh komik Jepang.
Tahukah kalian jika bentuk badan, tinggi badan, dan juga warna kulit saya selalu menjadi bagian yang selalu menjadi kritikan ibu saya? Kata-kata seperti "kamu itu nggak tinggi." atau "kamu nggak punya pinggang." atau "untung kulitmu putih, walaupun nggak seperti mama." Sudah menjadi makanan sehari hari saya dari usia yang sangat muda. Saya tidak ingat kapan pertama kali ibu mulai mengkritik bentuk badan saya, namun, selama saya tinggal bersama beliau, selama itu pula saya menghadapi segala kritikan beliau tentang tubuh saya.
Kamar ganti di rumah selalu menjadi tempat yang paling malas saya datangi. Saya kemudian menjadi malas untuk mengikuti segala macam trend fashion yang lagi popular. Saya menyerahkan semua gaya berpakaian saya kepada ibu saya. Beliau yang selalu memberikan baju apa yang pantas saya pakai, tentu saja dengan kalimat-kalimat seperti "badan kamu itu nggak ada bentuknya, nggak pantas pakai baju begini." atau "kamu nggak punya pinggang, mana pendek, jadi nggak pantes pakai baju begini." Belum termasuk kalimat seperti "badan kamu itu nggak seperti mama, liat deh, mama kan punya pinggang, kamu enggak, nggak bagus badan kamu itu."
Bahkan, beberapa tahun yang lalu, saat saya sudah tinggal sendiri, dan saat kembali ke rumah orang tua saya. Di depan lemari pakaian juga, saat saya berganti pakaian bahkan ibu sempat berkomentar, "payudara kamu kecil ya, nggak seperti mama."
Dulu, ibu saya selalu mengatakan bentuk badan saya bermasalah, tinggi badan saya bermasalah, bahkan bentuk hidung dan telapak kaki saya yang jelek. Sekarang ditambah ukuran payudara saya yang tidak sebesar beliau. Bayangkan, betapa tidak sempurnanya tubuh saya ini.
Oh, belum lagi setiap saya menikmati makanan, jangankan makanan kesukaan, bahkan saat makan biasa saja ibu selalu berkata "jangan makan banyak, kamu itu gendut, perut kamu itu loh."
Akibatnya ya itu, saya selalu menganggap tubuh saya ini nggak sempurna. Berdiri di cermin bukan untuk mengagumi tubuh saya, tapi selalu saja berkata betapa saya membenci tubuh saya. Gendut, tidak ada pinggang, payudara kecil, hidung jelek, kaki jelek. Selalu berpikir untuk ingin mengubah bentuk tubuh saya.
Satu waktu, saya pernah menjadi sangat amat kurus. 34 kilogram di usia pertengahan 20an. Lalu kemudian saya berfikir, mungkin saya tidak bisa menambah tinggi badan saya, tapi paling tidak, saya sekarang tidak gendut, saya punya pinggang, perut saya rata, dan dengan sedikit bantuan BH paling tidak payudara saya tidak terlihat kecil. Walaupun saya tidak sepenuhnya menjadi apa yang ibu saya mau, paling tidak, bentuk tubuh saya bukan lagi cemoohan ibu saya.
Apa ibu saya menyukainya? Tidak, dia tidak menyukai bentuk tubuh baru saya. Terlalu kurus, alasannya. "Kamu keliatan tua." Katanya saat itu. Lalu, kemudian mengatakan saya harus mengembalikan bentuk tubuh saya yang dulu dengan tambahan "badan kamu itu sudah begitu memang, nggak bisa seperti mama, nggak bagus."
Huffth...
Saya membenci tubuh saya....
Saya amat sangat membenci tubuh saya...
Saya benci pinggang saya yang tidak terlihat, saya benci hidung bangir saya, saya benci payudara kecil saya, saya benci tinggi badan saya. Saya benci tubuh saya.
Itulah yang selalu saya katakan setiap kali berada di depan cermin. Jadi tubuh saya menjadi titik lemah saya. Saya tidak suka orang mengatakan hal negatif terhadap tubuh saya. Saya tidak suka orang bercanda tentang tinggi badan saya. Saya tidak suka orang mengomentari berat badan saya.
Hasilnya, saya menjadi emosi, marah, semakin membenci tubuh saya, dan kemudian benci, benci sekali dengan mereka yang selalu berkomentar tentang tubuh saya.
Saya bahkan tidak segan untuk membentak mereka saat mereka mulai mengatakan kata-kata keramat seperti "kamu gendutan sekarang." Saya tidak suka. Saya tidak suka menjadi gendut, saya tidak suka karena saya sudah gendut dari dulu. Gendut itu jelek, gendut itu tidak sempurna. Itulah yang ada di pikiran saya.
Saya bahkan panik saat perut saya mulai membesar. Mulai mengambil jalan pintas untuk meminum pil diet. Tapi kemudian tidak bertahan lama, karena saya semakin sering ngemil. Makan ini itu, bahkan dalam waktu 2 sampai 3 jam sekali saya membutuhkan makan. Tertekan karena mulai tambah gendut, namun membutuhkan makanan untuk tenang. Ya, saya menjadi tenang saat saya mulai mengunyah makanan saya, namun kemudian menyesal karena makan.
Saya masih merasa sangat marah dan cemas sampai sekarang. Apalagi sampai sekarang masih saja ada orang-orang yang melakukan body shamming kepada saya. Ini beberapa body shaming yang masih saya terima di media sosial saya:
Sekarang bagaimana?
Sekarang saya mencoba untuk menempatkan diri saya dengan orang-orang yang berfikirian positif tentang tubuh saya dan mereka. Mencoba mengeliminasi semua komentar tentang body shamming. Memberikan pengetahuan tentang apa itu body shamming dan dampaknya, dan juga mulai memberikan pikiran dan juga komentar positif terhadap semua orang yang ada di sekitar. Belajar lagi menerima dan berterima kasih akan tubuh yang saya miliki.
Semua ini nggak mudah, sangat amat nggak mudah.
Rasa khawatir karena berat badan melonjak masih ada, dan saya tetap mulai menyikapinya dengan pikiran positif. Nggak gampang, benar benar nggak gampang.
Terima kasih saya kepada Mas Bojo yang selalu bilang, "nggak ada masalah sama badan kamu". Juga teman-teman saya yang selalu memberikan kalimat positif kepada saya.
Saya masih berjuang...
Jadi...
Luka karena body shamming tidak terlihat. Kebanyakan dampak yang terjadi adalah dampak psikologis terhadap korban.
Tahukah kalian, bahwa apa yang kita lakukan selama ini terhadap kebanyakan kerabat kita ("kamu gendutan ya") ternyata berdampak sangat besar.
Ya,
Memang tidak semua orang memiliki pengalaman body shamming seperti saya. Tapi bukan berarti semua orang tidak memiliki pengalaman body shamming. Kebetulan apa yang terjadi pada saya dilakukan oleh orang terdekat saya. (Jangan khawatir, saya tidak membenci ibu saya). Dan dilakukan secara bersambung, selama hidup saya bersama beliau.
Tapi, saya bercerita seperti ini, agar kita semua paham, sadar, dan mulai untuk menghentikan body shamming yang kita lakukan terhadap semua orang di sekitar kita. Budaya? Kenapa kita harus mempertahankan budaya yang negatif, tapi tidak mempetahankan budaya yang positif. Apakah kita mau di cap sebagai masyarakat dengan budaya yang negatif? Ataukah kita mau dikatakan bahwa kitalah penyebab depresi seseorang.
Selain depresi, apalagi yang akan dihadapi oleh korban body shamming?
Kita semua harus benar-benar sadar bahwa body shamming juga membantu membentuk karakter negatif lainnya terhadap korban. Selain depresi, mudah marah, mudah cemas, gangguan makan, nggak percaya diri, stress. Ah, hampir semua gangguan itu saya miliki.
Teman,
Body shamming bukan lah hal yang positif. Mau mengatakan bahwa dengan "tambah gemuk/ gendut berarti bahagia"? Tidak. Ukuran kebahagiaan seseorang bukan dari mereka yang mengukurnya, tapi kita sendiri. Memberikan kalimat positif adalah kewajiban kita, namun tidak dengan body shamming.
Body shamming bukan bahan bercandaan. Sama seperti kamu mengatakan lelucon tentang seksualitas seseorang. Tubuh seseorang bukan bercandaan. Mulailah untuk menghapus semua komentar negatif kepada orang-orang yang kita kenal. Mulailah menyebarkan kalimat-kalimat positif. Bukankah kita lebih menyukai pujian positif daripada body shamming??
Dan,
semua tubuh yang kita miliki adalah sempurna.
Follow my blog with Bloglovin
Lalu setelah "kalimat" itu dilontarkan kepada kita, atau oleh kita, kemudian kita mendengarkan jawaban seperti:
"Gitu aja kok marah."
"Bercanda aja kali."
"Cuma bercanda."
Tapi, banyak kah dari kita semua menyadari bahwa sebenarnya itu adalah bentuk halus dari body shaming? Atau bahasa keren dari mencela/ mengejek/ memperolok tubuh seseorang, baik itu bentuk nya, warnanya, atau apapun yang menjadi bagian dari tubuh seseorang tersebut.
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1909298562731073&set=pcb.1909298646064398&type=3&theater |
Banyak yang dari kita tidak memahami bahwa sebenarnya ini adalah bentuk bullying juga. Bahwa kemudian banyak dari kita yang tidak menyadari dampak yang dihadapi oleh korban. Bahkan body shamming adalah bentuk pelecehan secara verbal.
Biarkan saya bercerita tentang pengalaman body shaming terhadap saya.
Saya terlahir tidak tinggi semampai seperti Raisa, ataupun memiliki bentuk wajah seperti para anggota SNSD. Berbanding terbalik dengan ibu saya yang, walaupun tidak tinggi seperti Raisa, memiliki bentuk tubuh seperti Yoona SNSD. Walaupun kemudian warna kulit saya tidak gelap, namun tidak lebih terang dari ibu saya. Bentuk wajah ibu saya pun runcing di dagu, seperti kebanyakan tokoh komik Jepang.
Tahukah kalian jika bentuk badan, tinggi badan, dan juga warna kulit saya selalu menjadi bagian yang selalu menjadi kritikan ibu saya? Kata-kata seperti "kamu itu nggak tinggi." atau "kamu nggak punya pinggang." atau "untung kulitmu putih, walaupun nggak seperti mama." Sudah menjadi makanan sehari hari saya dari usia yang sangat muda. Saya tidak ingat kapan pertama kali ibu mulai mengkritik bentuk badan saya, namun, selama saya tinggal bersama beliau, selama itu pula saya menghadapi segala kritikan beliau tentang tubuh saya.
Kamar ganti di rumah selalu menjadi tempat yang paling malas saya datangi. Saya kemudian menjadi malas untuk mengikuti segala macam trend fashion yang lagi popular. Saya menyerahkan semua gaya berpakaian saya kepada ibu saya. Beliau yang selalu memberikan baju apa yang pantas saya pakai, tentu saja dengan kalimat-kalimat seperti "badan kamu itu nggak ada bentuknya, nggak pantas pakai baju begini." atau "kamu nggak punya pinggang, mana pendek, jadi nggak pantes pakai baju begini." Belum termasuk kalimat seperti "badan kamu itu nggak seperti mama, liat deh, mama kan punya pinggang, kamu enggak, nggak bagus badan kamu itu."
Bahkan, beberapa tahun yang lalu, saat saya sudah tinggal sendiri, dan saat kembali ke rumah orang tua saya. Di depan lemari pakaian juga, saat saya berganti pakaian bahkan ibu sempat berkomentar, "payudara kamu kecil ya, nggak seperti mama."
Dulu, ibu saya selalu mengatakan bentuk badan saya bermasalah, tinggi badan saya bermasalah, bahkan bentuk hidung dan telapak kaki saya yang jelek. Sekarang ditambah ukuran payudara saya yang tidak sebesar beliau. Bayangkan, betapa tidak sempurnanya tubuh saya ini.
Oh, belum lagi setiap saya menikmati makanan, jangankan makanan kesukaan, bahkan saat makan biasa saja ibu selalu berkata "jangan makan banyak, kamu itu gendut, perut kamu itu loh."
Akibatnya ya itu, saya selalu menganggap tubuh saya ini nggak sempurna. Berdiri di cermin bukan untuk mengagumi tubuh saya, tapi selalu saja berkata betapa saya membenci tubuh saya. Gendut, tidak ada pinggang, payudara kecil, hidung jelek, kaki jelek. Selalu berpikir untuk ingin mengubah bentuk tubuh saya.
Satu waktu, saya pernah menjadi sangat amat kurus. 34 kilogram di usia pertengahan 20an. Lalu kemudian saya berfikir, mungkin saya tidak bisa menambah tinggi badan saya, tapi paling tidak, saya sekarang tidak gendut, saya punya pinggang, perut saya rata, dan dengan sedikit bantuan BH paling tidak payudara saya tidak terlihat kecil. Walaupun saya tidak sepenuhnya menjadi apa yang ibu saya mau, paling tidak, bentuk tubuh saya bukan lagi cemoohan ibu saya.
Apa ibu saya menyukainya? Tidak, dia tidak menyukai bentuk tubuh baru saya. Terlalu kurus, alasannya. "Kamu keliatan tua." Katanya saat itu. Lalu, kemudian mengatakan saya harus mengembalikan bentuk tubuh saya yang dulu dengan tambahan "badan kamu itu sudah begitu memang, nggak bisa seperti mama, nggak bagus."
Huffth...
Saya membenci tubuh saya....
Saya amat sangat membenci tubuh saya...
Saya benci pinggang saya yang tidak terlihat, saya benci hidung bangir saya, saya benci payudara kecil saya, saya benci tinggi badan saya. Saya benci tubuh saya.
Itulah yang selalu saya katakan setiap kali berada di depan cermin. Jadi tubuh saya menjadi titik lemah saya. Saya tidak suka orang mengatakan hal negatif terhadap tubuh saya. Saya tidak suka orang bercanda tentang tinggi badan saya. Saya tidak suka orang mengomentari berat badan saya.
Hasilnya, saya menjadi emosi, marah, semakin membenci tubuh saya, dan kemudian benci, benci sekali dengan mereka yang selalu berkomentar tentang tubuh saya.
Saya bahkan tidak segan untuk membentak mereka saat mereka mulai mengatakan kata-kata keramat seperti "kamu gendutan sekarang." Saya tidak suka. Saya tidak suka menjadi gendut, saya tidak suka karena saya sudah gendut dari dulu. Gendut itu jelek, gendut itu tidak sempurna. Itulah yang ada di pikiran saya.
Saya bahkan panik saat perut saya mulai membesar. Mulai mengambil jalan pintas untuk meminum pil diet. Tapi kemudian tidak bertahan lama, karena saya semakin sering ngemil. Makan ini itu, bahkan dalam waktu 2 sampai 3 jam sekali saya membutuhkan makan. Tertekan karena mulai tambah gendut, namun membutuhkan makanan untuk tenang. Ya, saya menjadi tenang saat saya mulai mengunyah makanan saya, namun kemudian menyesal karena makan.
Saya masih merasa sangat marah dan cemas sampai sekarang. Apalagi sampai sekarang masih saja ada orang-orang yang melakukan body shamming kepada saya. Ini beberapa body shaming yang masih saya terima di media sosial saya:
this is my personal Facebook post at October 2017 |
This is my instagram post at July 2017 |
This is my instagram post at June 2017 |
Sekarang bagaimana?
Sekarang saya mencoba untuk menempatkan diri saya dengan orang-orang yang berfikirian positif tentang tubuh saya dan mereka. Mencoba mengeliminasi semua komentar tentang body shamming. Memberikan pengetahuan tentang apa itu body shamming dan dampaknya, dan juga mulai memberikan pikiran dan juga komentar positif terhadap semua orang yang ada di sekitar. Belajar lagi menerima dan berterima kasih akan tubuh yang saya miliki.
Semua ini nggak mudah, sangat amat nggak mudah.
Rasa khawatir karena berat badan melonjak masih ada, dan saya tetap mulai menyikapinya dengan pikiran positif. Nggak gampang, benar benar nggak gampang.
Terima kasih saya kepada Mas Bojo yang selalu bilang, "nggak ada masalah sama badan kamu". Juga teman-teman saya yang selalu memberikan kalimat positif kepada saya.
Saya masih berjuang...
Jadi...
Luka karena body shamming tidak terlihat. Kebanyakan dampak yang terjadi adalah dampak psikologis terhadap korban.
Tahukah kalian, bahwa apa yang kita lakukan selama ini terhadap kebanyakan kerabat kita ("kamu gendutan ya") ternyata berdampak sangat besar.
Ya,
Memang tidak semua orang memiliki pengalaman body shamming seperti saya. Tapi bukan berarti semua orang tidak memiliki pengalaman body shamming. Kebetulan apa yang terjadi pada saya dilakukan oleh orang terdekat saya. (Jangan khawatir, saya tidak membenci ibu saya). Dan dilakukan secara bersambung, selama hidup saya bersama beliau.
Tapi, saya bercerita seperti ini, agar kita semua paham, sadar, dan mulai untuk menghentikan body shamming yang kita lakukan terhadap semua orang di sekitar kita. Budaya? Kenapa kita harus mempertahankan budaya yang negatif, tapi tidak mempetahankan budaya yang positif. Apakah kita mau di cap sebagai masyarakat dengan budaya yang negatif? Ataukah kita mau dikatakan bahwa kitalah penyebab depresi seseorang.
Selain depresi, apalagi yang akan dihadapi oleh korban body shamming?
Kita semua harus benar-benar sadar bahwa body shamming juga membantu membentuk karakter negatif lainnya terhadap korban. Selain depresi, mudah marah, mudah cemas, gangguan makan, nggak percaya diri, stress. Ah, hampir semua gangguan itu saya miliki.
Teman,
Body shamming bukan lah hal yang positif. Mau mengatakan bahwa dengan "tambah gemuk/ gendut berarti bahagia"? Tidak. Ukuran kebahagiaan seseorang bukan dari mereka yang mengukurnya, tapi kita sendiri. Memberikan kalimat positif adalah kewajiban kita, namun tidak dengan body shamming.
Body shamming bukan bahan bercandaan. Sama seperti kamu mengatakan lelucon tentang seksualitas seseorang. Tubuh seseorang bukan bercandaan. Mulailah untuk menghapus semua komentar negatif kepada orang-orang yang kita kenal. Mulailah menyebarkan kalimat-kalimat positif. Bukankah kita lebih menyukai pujian positif daripada body shamming??
Dan,
semua tubuh yang kita miliki adalah sempurna.
Follow my blog with Bloglovin
5 comments
setuju mba, body shaming bukanlah basa-basi yang baik dengan orang yang sudah lama nggak kita temui dan memang ada perubahan pada fisiknya. Tapi kalau boleh saran, mba bisa ngomong dari hati ke hati dengan mama bahwa gimanapun juga fisik ini sudah anugrah dari Yang Maha Kuasa, mencelanya sama dengan mencela yang menciptakannya. Tetap semangat ya mba, pasti ada orang di sekitar kamu yang sayang karena kebaikan dan inner beauty bukan hanya dari fisik semata. Luvv <3
ReplyDeleteHallo Mbak, makasih sudah mampir ya.
DeleteMakasih juga dukungannya. Memang manusia nggak ada yg sempurna hand, setuju banget. Terima kasih juga sarannya, hubungan saya dgn mama saya baik2 kok. Skg kontak fisik sdh jarang bgt, udah tinggal sendiri soalnya. Jadi otomatis sdh gak pernah lagi deh banding2in... Cuma cerita aja kalau apapun bentuk dan siapapun yg komentar ttg tubuh ssorg, bukan hak mereka utk judging mana yg paling sempurna, dan body shaming akibat ke korbanya itu dampak panjang ke psikologis nya. Hehe...
Makananku sehari-hari huhu sampe setres sendiri...tapi untungnya ada internet tempat belajar lebih menghargai perbedaan, tempat mencari tahu lebih banyak hal daripada mengomentari yang tidak penting. Sekarang sih udah bisa nerima, ikut becanda juga deh akhirnya walaupun gak nyaman juga sebenarnya. Bosen ya kan. Tapi karena sebagian dari perkataan mereka adalah fakta ya jadinya harus sering ambil nafas dalam-dalam hehe. YANG JELAS, AKU TIDAK AKAN PERNAH KOMEN2 NGAWUR SEPERTI MEREKA. At least it means we're one step ahead dari mereka kalau gitu hihihi
ReplyDeleteSayangny, masih banyak orang yang menjadikan ini sebagai guyonan
ReplyDeleteSaya pun mengalami, Mb
Pas kurus banget ada yang komen, "Kurus. Rata. Tiang listrik berjalan. Cacingan,"
Setelah melahirkan ada yang komen, "Gede banget. Kok bisa sebesar ini?"
Udah turun 24 kg masih dikomen lagi, "Pantesan gendut. Sekarang gak pantes,"
Nurutin sedih ya sedih Mb, tapi bodo amat ajalah y wkkk
Sebenarny saya bisa balas, tp males ah nyamain level jadiny wkwkk
itu dia Mbak, kalau nurutin mereka nggak ada yg bener sama badan kita. Orang-orang yg malah bikin becandaan malah parah Mbak, sama aja bullying itu.
Deletemending buang jauh-jauh orang sprti ini :)
Thank you for visiting my blog. Please leave your comment here, but apologize, any spams will go to bin immediately.