Beberapa minggu yang lalu, lagi ngobrol ngalor ngidul sama teman jaman kuliah dulu, tiba-tiba dia nyeletuk,
Dia : "Eh si C udah merit lo."
Gw : "Trus kenapa?"
Dia : "Eh? Lu beneran musuhan ya sama dia?"
Gw : "Musuhan? Enggak, gw cuma ga mau buang-buang tenaga komen ke orang yang even gamau nyediain waktunya buat gw."
Si C...
Dia dulu temen deket banget sama gw. Kemana mana selalu sama dia. Selalu mendukung dia 100% apapun pilihannya, walaupun terkadang pilihannya aneh menurut gw.
Bahkan salah satu dosen kita juga nggak bisa bedain yang mana C yang mana gw. Saking selalu sama-sama, kapan saja, dimana saja.
Sampai akhirnya lulus kuliah, kitapun masih tetap komunikasi, walaupun nggak selancar dulu. Tapi ya komunikasi seperti biasa lah.
Sampai akhirnya perjalanan hidup gw membawa gw ketemu dengan Mas Bojo, dan C pindah ke Bali. Awal-awal gw pindah ke Australia mengharuskan gw untuk bolak balik Melbourne - Bali setiap tiga bulan sekali.
Di awal gw ke bali pertama kali dengan Mas Bojo, gw selalu kirim pesan ke teman-teman yang di Bali, termasuk si C untuk meet up. Kebetulan gitu loh gw di Bali, dan kenapa enggak sekali kali ketemu temen-temen jaman kuliah dulu.
Tbh, gw berharap banget bisa ketemu sama C. Karena waktu itu gw pikir kita masih komunikasi, dan bahkan masih saling mendukung dengan keputusan satu sama lain. Jadi kenapa enggak gitu kan ketemu sama dia dan ngenalin Mas Bojo ke dia.
Tapi, C nggak bisa menentukan waktu kapan bisa ketemu gw. Saat itu gw sih masih maklum lah ya. Mungkin aja dia memang sibuk, dan memang nggak mau ganggu liburan gw dan Mas Bojo. Walaupun kalau sekarang mikir, alasannya agak "basi" menurut gw. Karena gw liburan dua minggu full, dan C nggak bisa meluangkan waktu barang 10 menit untuk ketemu gw.
Tapi, gw sih masih mikir positif aja.
Begitu pula saat ke Bali berikutnya, untuk kedua kalinya gw mencoba menghubungi teman-teman di Bali, yang di waktu itu gw anggap masih ada komunikasi yang baik, termasuk C. Walaupun pada C salah satu yang membalas pesan singkat gw, dan balasannya pun sama "sibuk" dan "belum tentu ada waktu", tapi gw masih menganggap positif lah.
Hingga akhirnya saat ke Bali berikutnya, gw bahkan kirim pesan dan bilang, gw yang bakal dateng ke tempat kerjanya di saat dia istirahat, pun, dia balas dengan bilang, "nggak tau kapan ada waktu."
Dan itu adalah terakhir kalinya gw mencoba untuk menghubungi "yang katanya" sahabat gw.
Beberapa minggu yang lalu juga tetiba mantan gw chat gw.
Long story short, hubungan gw sama dia itu putus nyambung selama +/- 13 tahun-an lah. Bahkan di saat 13 tahun ke-nggak jelasan kita itu, berkali kali gw pergi, tapi balik lagi ke dia, cuma untuk berharap dia mau melihat kalau gw itu serius sama dia.
Yes I was that deeply in love with him, and made me as the stupidest person I ever know.
Ya, walaupun pada akhirnya 13 tahun terbuang sia-sia juga sih.
Tapi, setelah gw permanently settled di Melbourne, tetiba dia chat, dengan segala macam ceritanya dia lah. Dan yang paling bikin gemes itu kalau selama ini dia sebenernya takut untuk mem-publish dan serius karena nyokap. (entah ini bener atau cuma alasan dia doang).
Not begging, tapi berharap bisa balik sama gw. Setelah lima tahun lebih nggak kontak, dan in fact, saat dia tau gw in relations dengan Mas Bojo, dia yang bilang dia gak suka and say bye. Actually saat itu gw juga udah cape untuk tarik ulur melulu, akhirnya saat dia bilang gitu, saat itu juga gw meyakinkan diri untuk move on.
And I am. Di hampir lima tahun bersama Mas Bojo, gw merasa dimanusiakan banget. Di dukung segala keputusan untuk diri sendiri, bahkan diajak stress ngurusin residensi pun mau. Kan ya nggak mungkin gw ngelepas gem seperti ini untuk someone dodgy yang gw udah tau,dan masi curiga aja ini orang alasannya bener apa enggak.
Pada akhirnya, gw cuma mau kita berteman. Tapi, tanpa ada jawaban, gw pikir jawabnnya cukup jelas kok.
I am Not Afraid Loosing Someone that...
Yes I am not affraid to loose someone.
Mungkin di jaman gw sahabatan sama si C, kita pernah berjanji untuk selalu mendukung satu dengan yang lain. Mungkin di jaman gw sahabatan sama dia, kita pernah berjanji untuk selalu keep on contact.
Tapi, semua itu nggak ada artinya, di saat sekarang saat gw berusaha untuk bikin kita tetap keep in contact tapi yang di sana even gamau usaha sama sekali.
Sama seperti di saat sang mantan mulai kontak, dan mengeluarkan jurus rayuan maut yang dulu sempet bikin gw kelepek-kelepek, tapi sekarang semua sudah beda.
Gw menghargai pertemanan (ataupun pacaran) antara gw dan para mantan ini. Pun disaat gw menawarkan untuk "berbaikan" dengan keadaan, dengan maksud gw masih ingin punya hubungan yang baik.
Tapi, kalaupun ditolak pun, gw juga nggak sedih-sedih amat.
Dengan jawaban mereka yang (kebetulan) nggak menjawab, sudah cukup buat gw untuk tau mau dibawa kemana hubungan gw dengan para mantan ini.
Kehilangan mereka dong?
Ya nggak apa-apa sih. Gw menawarkan hubungan yang sehat kok. Maksud gw menawarkan hubungan pertemanan juga untuk keuntungan kita berdua kok, gw dan mantan sahabat gw, dan gw dan mantan pacar gw.
Mungkin saat ini gw nggak bisa secara fisik 100% ada di samping si C, tapi gw menawarkan sebuah hubungan persahabatan yang intinya masih sama. Gw masih sanggup mendukung pilihannya dia, atau memberi dia semangat, or as seseorang yang bisa aja dihubungin kapan aja, untuk sekedar cerita ngalor ngidul.
Gw juga nggak bisa untuk balik ke mantan gw yang dulu sempet jadi satu-satunya orang yang selalu ada di pikiran gw. Yang sekarang gw sudah move on dan pastinya sudah punya pandangan baru, kacamata hidup yang baru, pasangan baru yang jauh lebih baik, menurut gw. Toh, gw masih mau menawarkan hubungan yang tidak seistimewa sebelumnya. Yang menurut gw, kita bisa melupakan masa lalu, dan kembali menjalin hubungan sehat sebagai teman. Apalagi Mas mantan sudah kenal gw sangat lama.
At the end, I am not afraid to loosing someone yang nggak mau menjalin hubungan baik dengan gw.
Life's goes on, people are moving on.
Bosan Dengan Drama
Salah satu alasan gw santai aja dengan kehilangan mereka-mereka ini, karena gw sudah ogah banget berurusan dengan drama. Dramanya ya dari gw sendiri.
Nggak mau gitu ngerasa sedih dan drama sendiri karena menghadapi kenyataan kalau dulunya sahabat sekarang udah seperti nggak kenal satu sama lain.
Malas aja dengan semua kenangan masa lalu yang ujung-ujungnya malah kesel sendiri. Kesel karena berfikiran para mantan ini menyia-nyiakan semua kesempatan yang dulu selalu gw kasih. Malas aja mengingat itu semua dan jadi kesel.
Cukup Memberi Kesempatan
Ya cukuplah...
Kalau terus-terusan memberi kesempatan, gw berasa seperti gw yang begging untuk mereka tetap selalu ada di sisi gw. Padahal kenyataannya selama ini, tanpa mereka pun hidup gw baik-baik aja.
Selain itu, nggak perlu lah merasa sedih kehilangan satu orang yang bahkan sepertinya nggak merasa sedih atau kurang karena nggak lagi berhubungan dengan gw.
Kita Layak Untuk Bahagia
Yup!!
Bukan dengan berharap bisa membentuk "persahabatan" dengan si mantan sahabat kembali, atau kembali punya hubungan kasih dengan si mantan. Tapi, bisa survive tanpa mereka itu adalah kunci kalau kita sebenernya layak untuk bahagia.
Tanpa para mantan ini pun, kita bisa membuktikan, nggak perlu nostalgia dengan segala macam tetek-bengek nostalgia bersama jaman dulu. Dengan menikmati hidup yang kita punya sekarang, dengan teman-teman yang baru, dengan apa yang kita punya sekarang.
Bukan Berarti Memusuhi Mereka
Bukan karena akhirnya memutuskan untuk nggak lagi berusaha "mengejar" mereka, terus memusuhi mereka. Jadi seperti nol gitu, nggak perduli, nggak sedih, nggak juga penasaran.
Ya udah aja, di mata gw jadinya ya sekedar mereka yang ada di friend list facebook yang nggak pernah sama sekali kasih likes ataupun komentar. Semacam itu lah.
Menjadi nggak perduli?
Mungkin iya. Nggak perduli dengan updating hidup mereka lagi. Mau si C udah kawin kek, atau semua alasan manis mas mantan kenapa sampai gantungin gw selama 13 tahun itu bener apa enggak pun gw nggak perduli.
Gw-nya lebih fokus ke hidup gw yang sekarang.
Walaupun hidup yang sekarang bukan berarti lebih gampang. Tapi lebih nyaman aja tanpa harus mengulangi "sejarah" yang sama lagi. Atau harus mencoba tetap berkomunikasi atas nama nostalgia.
Iya, hidup itu memang sebenernya lucu.
Di satu fase, kita akan menemukan seseorang yang kita anggap sangat penting. Mereka yang kita katakan sahabat, atau cinta sejati.
Namun, di fase berikutnya, semuanya malah bikin kita jadi broken heart, terkhianati, tercabik, remuk redam, marah, dan kesal.
Dan kemudian muncul fase berikutnya, dimana semua rasa negatif yang kita rasakan hilang begitu saja, dan mulai untuk memaafkan dan bahkan melupakan mereka yang dulu pernah "mampir" di hidup kita.
Sampai di fase, menerima masa lalu beserta nostalgia-nostalgia nya. Merasakan semua itu biasa saja, nggak ada deg-deg-an saat memikirkannya dan memutuskan untuk nggak akan kembali ke mereka yang pernah ada di masa lalu kita.
Mungkin ini yang disebut kembali menjadi orang asing.
Yang kemudian gw berfikir, keputusan menjadi orang asing, sebenernya bisa aja loh nggak terjadi, jika kita memutuskan untuk tidak memutus tali silaturahmi itu. Karena life must go on, dan mereka yang dulu pernah menjadi sangat istimewa dan meninggalkan ruang kosong di hidup kita, tergantikan dengan mereka yang datang belakangan dan mengisi ruang kosong yang ditinggalkan.
People come and go, hanya yang berhak tinggal akan tinggal. Siapa yang berhak? Mereka yang mau menerima perubahan tentunya.
0 comments
Thank you for visiting my blog. Please leave your comment here, but apologize, any spams will go to bin immediately.